PEMILIH
CERDAS AMERIKA REFLEKSI PILKADA DI INDONESIA
Oleh
:
ENDRI
SANOPAKA, S.Sos., MPM
Ketua
Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji
Obama memenangkan
pemilihan presiden Amerika bukan karena wajahnya yang tampan, ataupun kulitnya
hitam, serta dari kelompok tertindas sehingga mendapat simpati. Melainkan
program jaminan kesehatan semesta yang ditawarkan dalam janji kampanyelah yang menjadi
daya tarik pemilih untuk memilih Obama. Begitu juga dengan janjinya akan
menarik pasukan tentara Amerika dari daerah-daerah perang, yang juga menjadi
beban bagi amerika karena konsekuensi perang adalah peningkatan tarif pajak, di
samping permintaan dari keluarga tentara dan veteran yang menginginkan
keluarganya yang berperang dapat berkumpul kembali. Begitu obama terpilih, maka
segera obama mengeksekusi janji politiknya dengan memperjuangkan lolosnya
Rancangan Undang-Undang tentang jaminan sosial
ke parlemen, atau yang dikenal dengan sebutan Obama Care. Sebuah program
jaminan kesehatan bagi warga Amerika yang tidak memiliki asuransi kesehatan,
dan pada akhir kepemimpinannya Obama menyatakan bahwa 30 juta warga Amerika
telah menikmati jaminan layanan kesehatan di pusat-pusat kesehatan di Amerika.
Bahkan satu waktu rencana kunjungan Obama ke Indonesia di batalkan karena Obama
ingin mengawal Rancangan Undang-Undang tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa
parlemen dan senat Amerika didominasi oleh partai Republik, partai oposisi
Obama.
Begitu juga dengan
terpilihnya Donald Trump dari Partai Republik yang memenangkan pemilihan
melawan Hillary Clinton dari Partai Demokrat. Amerika sedang mengalami gejolak
ekonomi ditandai dengan semakin banyaknya pengangguran. Hal tersebut dikarenakan
terbatasnya lapangan pekerjaan yang disebabkan perusahaan-perusahaan besar
seperti Apple telah membangun pabrik di luar Amerika dengan tujuan mengurangi
biaya produksi yang berpengaruh terhadap nilai jual produk Amerika. Janji
kampanye Trump yang berlatar belakang pengusaha, begitu terpilih segera
mengambil kebijakan dengan memerintahkan perusahaan-perusahaan Amerika kembali
ke membangun pabriknya di Amerika agar lapangan pekerjaan dapat mengatasi
pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Begitu juga kebijakan
kesehatan semesta yang diperjuangkan selama Obama berkuasa dibatalkan karena
dianggap membebani keuangan negara.
Rakyat Amerika dengan
cerdas menentukan pilihannya atas dasar janji politik yang ditawarkan sebagai
sebuah produk jualan untuk menarik simpati publik. Pencitraan yang dibangun
oleh kandidat Presiden Amerika bukan pada performancenya secara fisik, apakah
tampangnya, kesantunannya, atau bahkan menghapus catatan hitam masa lalunya.
Terpilihnya Donald Trump sekali lagi membuktikan bahwa meskipun mendapat
penolakan dari beberapa kelompok rakyat Amerika, menunjukkan bahwa rakyat
Amerika lebih rasional di dalam menentukan pilihan.
Pesta Demokrasi Di Indonesia
Jika
melihat pesta demokrasi di Indonesia, apakah pemilihan presiden ataupun
pemilihan kepala daerah, jauh panggang daripada api jika membandingkan kecerdasan
pemilih Amerika dengan kecerdasan pemilih di Indonesia. Pemilih di Amerika
lebih rasional, sedangkan pemilih di Indonesia cenderung emosional. Kecenderungan
dalam menentukan pilihan dalam sebuah kontestasi pemilihan Presiden ataupun
Kepala Daerah baik Gubernur ataupun Bupati/Walikota lebih didasarkan kepada
kedekatan dan kesukaan atas kandidat yang ikut dalam kontestasi. Berbagai
survey yang dilakukan oleh para kandidat calon kepala daerah berupaya untuk
menggali seberapa besar tingkat popularitas, dan juga elektabilitas mereka.
Sehingga intervensi yang dilakukan oleh tim konsultan adalah dengan berupaya
membangun pencitraan secara fisik dan non fisik agar menimbulkan kesan pada
para pemilih dan menjadi lebih dikenal. Ada kandidat yang mencoba membangun
simpati dengan mendesain karakternya menjadi orang yang teraniaya melalui
pencitraan media, baik cetak ataupun elektronik, bahkan melalui media sosial. Ada
yang tampil dengan sikap simpatiknya turun blusukan ke pusat-pusat
perbelanjaan, sekedar bertanya harga, atau sambil berselfie berupaya membangun
citra lebih dekat dengan masyarakat. Dan juga ada yang tampil lebih religius
untuk menunjukkan dirinya lebih dapat dipercaya dan bertanggungjawab. Semua
yang mereka lakukan adalah merupakan bagian dalam membangun sebuah political branding atau lebih familiar
disebut pencitraan.
Tingkat
pendidikan dan kesejahteraan masyarakat didaerah ataupun di Indonesia secara
umum memang berbeda dengan di Amerika. Janji-janji politik yang disampaikan
dalam setiap kampanye seolah tidak begitu dihiraukan. Masyarakat menganggap
janji-janji tersebut seperti hanya sebuah pepesan kosong saja. Mereka dalam
memutuskan untuk memilih kandidat pasangan kepala daerah lebih pada faktor
kedekatan emosinal, balas budi, ataupun punya latar belakang kesukuan dan agama
yang sama. Yang lebih mengkhawatirkan adalah pilihan itu didasarkan pada nilai
tukar yang diberikan oleh kandidat dalam bentuk transaksi uang dengan suara
pemilih.
Jika
kita melihat pada teori hierarkhi kebutuhan Maslow yang menempatkan kebutuhan
itu berjenjang mulai dari kebutuhan dasar makan dan minum, kebutuhan rasa aman,
kebutuhan sosial, kebutuhan dihargai, dan yang paling tinggi adalah kebutuhan
aktualisasi diri. Maka piramida hierarki kebutuhan Maslow itu masih menempatkan
jumlah terbesar masyarakat pemilih di Indonesia masih berkutat untuk memenuhi
kebutuhan paling dasar yaitu makan dan minum. Pemenuhan kebutuhan makan dan
minum merupakan kebutuhan diseputar urusan perut, maka penyelesaiannya adalah
siapa yang dapat menukar antara kebutuhan pemilih dan kebutuhan yang minta
dipilih, maka terjadilah sebuah transaksional. Sedangkan dipuncak piramida
jumlahnya lebih sedikit masyarakat dengan level kebutuhan aktualisasi diri,
mereka yang memberanikan diri untuk tampil sebagai kandidat dengan mengharapkan
pemilih yang rasional pada level piramida Maslow. Mereka yang masih membutuhkan
rasa aman, ataupun mereka yang butuh berkumpul, dan juga mereka yang butuh
dihargai, pada level inilah yang bisa diharapkan berpikir menjadi pemilih
cerdas dan rasional. Sayang jumlah masyarakat pemilih pada level ini lebih
sedikit dibandingkan mereka yang berkutat pada urusan perut.
Kita
tidak akan melihat para kandidat memasang billboard, spanduk, poster, ataupun
iklan di media cetak dan elektronik yang menuliskan Visi dan Misi serta
program-program yang akan diperjuangkannya jika terpilih. Mereka lebih suka
memasang wajah mereka dengan rekayasa aplikasi editing photo agar terlihat
lebih menarik dan simpatik. Kemudian menambahkan tagline berupa moto dan
simbol-simbol yang menarik perhatian sehingga mudah diingat dan menjadi
branding bagi pasangan kandidat pilkada. Hiruk pikuk pasca pilkada tidak akan
kita dengar tuntutan dari masyarakat pemilih kandidat yang memenangkan
kontestasi pilkada agar pasangan kandidat terpilih menunaikan janji politiknya.
Yang akan kita dengar adalah tuntutan-tuntutan yang bersifat emosional dan
lebih bersifat pribadi, dengan kata lain kepentingan sekelompok orang yang
terlibat dalam mensukseskan kandidat menjadi bagian dari politik balas budi
mengalahkan kepentingan publik.