KEBHINNEKAAN
: ASET DAN PEMERSATU BANGSA INDONESIA
Oleh
:
ENDRI
SANOPAKA, S.Sos., MPM
Ketua
Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji
Satu waktu Bung Karno dan
Bung Hatta mendiskusikan tentang bentuk negara yang akan di Proklamirkan saat
Indonesia Merdeka (dalam film Soekarno, Indonesia Merdeka : 2013). Bung Hatta
berargumen bahwa Indonesia dengan keberagamannya sangat cocok jika bentuk
negaranya adalah Federalistik. Sedangkan Bung Karno terinspirasi dengan sumpah
Palapa Patih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit yang bertekad untuk
mempersatukan nusantara sehingga beliau mengusulkan bentuk Negara Kesatuan.
Bung Hatta bertanya bagaimana cara untuk mempersatukan nusantara yang
berbeda-beda tersebut, jawab Bung Karno adalah dengan perasaan senasib
sepenanggungan. Bahwa bangsa Indonesia yang beragam tadi memiliki kesamaan
nasib telah dijajah oleh bangsa asing. Diskusi tersebut dapat kita ambil sebuah
kesimpulan bahwa keberagaman dapat dipersatukan dengan spirit perasaan senasib
sepenanggungan. Sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini telah hampir
mencapai usia 72 tahun kemerdekaan lepas dari belenggu penjajahan.
Bangsa Indonesia sadar
benar bahwa kita ini beragam sejak secara resmi oleh para pendiri negara
memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut merupakan anugerah yang
tidak terhingga yang diberikan tuhan kepada Bangsa Indonesia. Jika kita melihat
negara tetangga kita Malaysia dan Singapura yang hanya membedakan suku bangsa
menjadi tiga golongan, yaitu Melayu (apapun sukunya asalkan islam), India, dan
Cina masih saja dihadapkan pada potensi konflik yang cukup tinggi. Tapi kita
Indonesia dengan bermacam Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) dapat
hidup berdampingan mulai dari awal pendirian negara sampai dengan saat ini,
walaupun pada saat ini kita sedang dihadapkan pada potensi konflik yang cukup
beresiko sebagai bagian ujian atas eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Kita harus melihat bahwa
kondisi stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan beragamnya
perbedaan yang terdapat di masyarakat menyebabkan Negara dan Bangsa lain menjadi cemburu.
Tidak sedikit tentunya mereka diluar Indonesia yang barangkali menginginkan
Indonesia ini bubar. Berbagai macam serangan mereka lancarkan meskipun bukan
dengan ancaman senjata dan perang, tapi dengan cara-cara halus melalui potensi
konflik keberagaman. Aset terbesar bangsa Indonesia adalah Persatuan dan
Kesatuan yang telah dipupuk oleh sebuah semangat mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia ini agar tetap tegak berdiri di muka bumi. Pengalaman pahit
dijajah dan di adu domba oleh bangsa penjajah telah menjadikan sebuah proses
pendewasaan bangsa Indonesia menjadi sadar benar bahwa isu-isu yang
mempersoalkan perbedaan itu adalah sebuah upaya memecah belah bangsa yang besar
ini.
Kita semua patut
bersyukur bahwa bangsa Indonesia sadar, bahwa mendirikan negara ini sejak awal
sudah memang berpondasi kebhinnekaan. Kebhinnekaan diperkuat dengan semangat
senasib sepenanggungan yang kemudian memiliki tujuan bersama dalam membentuk
negara ini, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Konstitusi Negara.
Segala perbedaan ditinggalkan, dan dianggap bahwa kebhinnekaan itu adalah
sebuah berkah dari Yang Maha Kuasa atau dengan kata lain adalah merupakan Aset
bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebhinnekaan di Indonesia melahirkan
nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai etika dan perilaku bangsa secara nasional.
Kesemuanya bersumber dari budaya yang hidup dari masing-masing Suku Bangsa di
Indonesia, dengan dikumpulkan menjadi satu dan diambil intisarinya sehingga
menghasilkan saripati dari kebhinnekaan tersebut yang tercermin pada Pancasila
yang merupakan hasil penggalian atas nilai-nilai luhur yang tumbuh di kalangan
masyarakat Indonesia yang beragam tadi (Yudi Latif : 2011). Maka Pancasila itu
dimulai dari Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Semua perbedaan menjadi lebur dengan Dasar Negara Pancasila tersebut, dan semua
nilai-nilai terakomodir dalam lima sila yang dibingkai dalam semboyan Bhinneka
Tunggal Ika (Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu).
Kebhinnekaan
dan Persatuan Bangsa di Persimpangan
Hari ini kita sedang
mengalami ujian atas komitmen persatuan dan kesatuan dari kebhinnekaan
Indonesia. Ujian tersebut seharusnya tidak terjadi sebab kita sadar bahwa
negara Indonesia didirikan atas dasar adanya perbedaan-perbedaan, yang kemudian
disatukan melalui sebuah proses kesadaran bersama. Oleh karena itu kita sebagai
generasi penerus para founding father
wajib menjaganya. Kita tidak boleh lengah atas berbagai macam upaya yang
menginginkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia menjadi tercerai berai.
Sebab persatuan dan kesatuan yang dibangun dari keberagaman tersebut memang
rawan berada dipersimpangan, apakah bertahan atau bercerai dan rapuh. Akan
tetapi kita harus terbangun dari mimpi buruk ini, sebuah keadaan yang sememangnya
diinginkan oleh para neo-imperialisme yang ingin kembali menguasai Indonesia,
meskipun tidak dengan invasi langsung menggunakan senjata. Serangan yang
mencoba menghancurkan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia adalah dengan
mempersoalkan kebhinnekaan Indonesia. Mereka masuk dengan “de-sakralisasi
nilai-nilai luhur Pancasila”, sehingga Ketuhanan menjadi dipersoalkan, rasa
kemanusiaan terhadap sesama mulai tidak berimbang dan tidak beradab, rasa
persatuan dan kesatuan dilemahkan dengan kemasan perbedaan yang semakin
mencolok, demokrasi Pancasila yang khas Indonesia melalui musyawarah mufakat
menjadi demokrasi dengan suara terbanyak dan pencitraan penuh kepalsuan. Dan
juga rasa keadilan sosial hari ini tidak lagi bagi seluruh rakyat, akan tetapi
hanya bagi segelintir elit-elit yang menampilkan gaya hedonistik.
Aset kita yang paling
berharga tersebut berupa Pancasila yang merupakan saripati dari Kebhinnekaan
Bangsa Indonesia ingin dihancurkan agar dengan mudah mereka kembali menguasai
negeri ini. Oleh karena itu kita harus kembali bersama-sama membangkitkan
sebuah kesadaran bersama bahwa Bangsa Indonesia dengan keberagamannya harus diikat
kembali dengan sebuah spirit baru untuk saat ini. Bukan lagi rasa senasib
sepenanggungan, karena tentunya nasib kita saat ini antar daerah berbeda-beda
dan cenderung menimbulkan kecemburuan sosial, yang berdampak pada keinginan
untuk mencari perhatian dari Pemerintah
pusat. Kita mungkin harus mendesain ulang semangat kebersamaan itu sebagaimana
para pendiri bangsa ini telah berusaha mempersatukan perbedaan-perbedaan dan
saling menerima. Kembali pertanyaan Bung Hatta itu diajukan “dengan cara apa
bangsa Indonesia yang berbeda-beda ini dapat dipersatukan hari ini?”. Mungkin
Rasa syukur atas nikmat karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menganugerahi
kita alam yang subur dengan segala potensi kekayaan sumber daya alam. Serta
sumber daya manusia yang beragam dan memiliki iklim dan musim yang bersahabat
bagi kehidupan kita. Maka kita perlu menjaganya agar tidak dikuasai oleh bangsa
lain yang sejak dulu berkeinginan memiliki negeri ini. Pada akhirnya barangkali
perlu kita sadari bahwa saat ini kita tidak dapat memaksakan “perbedaan untuk
tetap satu”, tapi mungkin tepatnya kita ini “satu dalam perbedaan yang
manusiawi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar