MENJAGA GENERASI BANGSA BERKARAKTER
Oleh
:
ENDRI
SANOPAKA, S.Sos., MPM
Ketua
Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji
Dalam
sebuah Sidang Komisi Forum Rektor Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 2
Pebruari 2017 di Jakarta, tepatnya pada Sidang Komisi Nilai-Nilai dan Karakter
Bangsa dengan pimpinan sidang Rektor UIN Malang Prof. Mudija Rahardjo. Terlihat
keresahan para pimpinan perguruan tinggi akan nasib generasi bangsa yang
akhir-akhir ini mengalami dekadensi moral. Seolah sudah tidak punya pegangan
dan tokoh panutan lagi. Kemajuan teknologi informasi, merajalelanya narkoba,
tontonan televisi yang bebas tanpa sensor, saling hujat para tokoh-tokoh nasional
di media cetak dan elektronik dan berkembangnya berita-berita hoax yang menyesatkan
menjadi beberapa hal yang dianggap turut andil menyebabkan generasi bangsa
kehilangan jati diri nilai-nilai karakter bangsa.
Karakter
(Goree et al. 2007) adalah merupakan kebiasaan terpola untuk melakukan sesuatu
yang benar tanpa sadar, atau membuat keputusan terhormat secara konsisten
dengan standar moral yang tinggi. Perguruan tinggi sebagai salah satu bagian
untuk membentuk generasi bangsa yang berkarakter juga menghadapi dilema sebab
sejak awal sudah menerima input dari level jenjang pendidikan yang lebih rendah
dengan situasi yang sama. Akhirnya perguruan tinggi harus bekerja keras untuk
dapat mendesain sebuah nilai-nilai untuk membentuk karakter para mahasiswanya
agar kelak setelah menempuh pendidikan tinggi empat sampai dengan lima tahun
memiliki karakter dan jati diri yang kuat.
Orientasi
pendidikan dan pengajaran yang selama ini dilakukan di perguruan tinggi bahkan
juga di pendidikan dasar sampai dengan menengah cenderung lebih pada transfer of knowledge. Proses tersebut
akan menghasilkan sebuah ilmu yang sebatas menjadi pengetahuan bagi peserta
didik. Ditambah lagi jika proses memperoleh ilmu tersebut dengan pengorbanan
materi yang cukup besar. Maka pengetahuan yang diperoleh akan menjadi pajangan
dengan segala eksklusifitas yang disandang oleh penuntutnya. Sementara
pembentukan karakter hasil akhirnya adalah perilaku. Perilaku dilandasi kepada
sikap dari peserta didik melalui proses penanaman nilai-nilai yang dianutnya.
Oleh karena itu pembentukan karakter dilakukan dengan transfer of value kepada peserta didik dalam pembentukan sikap dengan
pembiasaan atau pengulangan.
Menanamkan
nilai-nilai karakter yang baik dalam setiap matakuliah atau mata pelajaran adalah
bagian terpenting dalam proses pembentukan karakter. Materi-materi pembelajaran
perlu disusun dengan kegiatan pembelajaran yang menuntut sebuah praktek
pembiasaan atau pengulangan atas perilaku yang baik. Penanaman nilai-nilai yang
baik dalam setiap tindakan penyelesaian suatu permasalahan dalam proses
pembelajaran akan membentuk perilaku yang baik, karena akan menjadi sebuah
kebiasaan hingga terbentuk sebuah perilaku etis.
Tidak
cukup hanya membiasakan para peserta didik untuk bersikap dan berperilaku baik,
tapi juga diperlukan tokoh-tokoh yang dapat dijadikan role model atau tauladan. Tokoh utama tentunya adalah para pendidik
yang secara langsung berhadapan dengan peserta didik setiap harinya. Sikap dan
perilaku para pendidik akan menjadi pedoman bagi peserta didik. Setiap hari
peserta didik menjadi terbiasa melihat dan bahkan terbawa serta mengikuti sikap
dan perilaku pendidiknya. Maka dari itu para pendidik juga dituntut untuk dapat
selalu menjaga kehormatan dengan bersikap dan berperilaku yang baik karena
menjadi role model utama yang akan
membentuk karakter generasi bangsa.
Selain
itu hendaknya para tokoh lokal ataupun tokoh nasional dan juga public figure yang selalu tampil di media
elektronik dapat juga kembali mengevaluasi diri apakah sudah memberikan
tauladan yang baik bagi generasi bangsa ini. Hampir setiap hari kita menyaksikan
tokoh maupun public figure saling
bertengkar. Walaupun pertengkaran disampaikan secara lisan namun dengan cara-cara
yang tidak etis bahkan tidak beradab. Tutur kata yang dilontarkan kasar dan
tidak sepantasnya didengar ataupun disaksikan dihadapan publik. Kadangkala
pertengkaran tersebut adalah merupakan bagian skenario yang sengaja
dipertontonkan untuk mempengaruhi persepsi publik.
Bahkan
yang lebih merisaukan adalah sebuah proses persidangan dilembaga peradilan yang
melibatkan tokoh dan public figure
dalam sebuah perkara. Prosesnya malah dikonsumsi publik dengan mempertontonkan
aib secera terbuka. Semua yang dikonsumsi publik atas praktek tidak etis yang
dilakukan oleh tokoh dan public figure
tersebut secara berulang-ulang menyebabkan pergeseran nilai, sikap dan perilaku
masyarakat. Masyarakat lama-kelamaan melihat bahwa praktek tidak etis itu
adalah hal yang biasa dan wajar. Jelaslah bahwa kontribusi tokoh dan public figure dalam membentuk karakter
bangsa adalah merupakan bagian penting menjadikan generasi bangsa yang
berkarakter, bukan saja menjadi tuntutan tanggungjawab dari lembaga pendidikan
semata.
Dan
yang terpenting adalah peran keluarga dirumah sebagai basis asal pembiasaan
penanaman nilai, sikap dan perilaku. Jika keluarga dirumah, lembaga pendidikan,
serta tokoh dan public figure
memiliki persepsi dan definisi yang sama dalam membentuk generasi bangsa
berkarakter, niscaya generasi bangsa akan terjaga. Kita masih ingat ketika orang
tua tempo dulu yang dianggap ketinggalan zaman dalam mendidik putra dan
putrinya. Tidak pernah terlontar ujaran-ujaran kasar yang disampaikan saat
orang tua memarahi anaknya karena melakukan kesalahan. Cukup dengan menggunakan
sindiran serta bahasa kiasan dan pantun, kemarahan itu disampaikan. “Hei Bertuah Punya Budak” sebuah kalimat
yang terlontar ketika seorang ibu sedang memarahi anaknya karena berbuat suatu
kesalahan. Kalimat itu pada akhirnya menjadi doa bagaimana keinginan seorang
ibu agar anaknya menjadi anak yang memiliki tuah. Barangkali berbeda dengan
saat ini yang dianggap sebagai era kebebasan, sampai-sampai tutur kata anak
kepada orang tuanya pun sudah tidak beradab. Bahkan orang tua masa kini saat
memarahi anaknya menggunakan kalimat-kalimat makian.
Kita
masih teringat pada waktu era orde baru bagaimana mendidik anak-anak disekolah
melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Mata pelajaran PMP
bahkan menjadi salah satu syarat bagi peserta didik untuk naik kelas bahkan
kelulusan. Kenaikan kelas dan kelulusannya juga harus sejalan dengan sikap dan
perilaku yang baik disekolah dan dirumah. Kemudian kita juga kembali merindukan
penanaman nilai-nilai Pancasila kepada peserta didik saat mulai masuk sekolah
menengah yang terkenal dengan nama “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4)”.
Pesan
khusus yang juga disampaikan oleh para rektor dalam sidang Komisi Forum Rektor
dengan pembahasan Penguatan Karakter dan Nilai-Nilai Budaya Bangsa adalah, para
pendidik harus ikhlas dalam memberikan ilmu, karena dengan keikhlasan maka ilmu
itu akan sampai ke hati. Hati adalah pusat energi yang akan menggerakkan sikap
dan perilaku manusia termasuk menggerakkan lingkungan. Dengan demikian segala
nilai-nilai yang ditanamkan pada masa lalu oleh para orang tua serta
tokoh-tokoh bangsa merupakan upaya menjaga generasi bangsa yang berkarakter.
Tidak semestinya kita malu untuk kembali menjaga generasi bangsa dengan
menanamkan nilai-nilai yang dulu pernah menjadi kebanggaan bagi kita sebagai
bangsa timur yang beradab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar