Sabtu, 22 April 2017


PEMILIH CERDAS AMERIKA REFLEKSI PILKADA DI INDONESIA

Oleh :

ENDRI SANOPAKA, S.Sos., MPM

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji


Obama memenangkan pemilihan presiden Amerika bukan karena wajahnya yang tampan, ataupun kulitnya hitam, serta dari kelompok tertindas sehingga mendapat simpati. Melainkan program jaminan kesehatan semesta yang ditawarkan dalam janji kampanyelah yang menjadi daya tarik pemilih untuk memilih Obama. Begitu juga dengan janjinya akan menarik pasukan tentara Amerika dari daerah-daerah perang, yang juga menjadi beban bagi amerika karena konsekuensi perang adalah peningkatan tarif pajak, di samping permintaan dari keluarga tentara dan veteran yang menginginkan keluarganya yang berperang dapat berkumpul kembali. Begitu obama terpilih, maka segera obama mengeksekusi janji politiknya dengan memperjuangkan lolosnya Rancangan Undang-Undang tentang jaminan sosial  ke parlemen, atau yang dikenal dengan sebutan Obama Care. Sebuah program jaminan kesehatan bagi warga Amerika yang tidak memiliki asuransi kesehatan, dan pada akhir kepemimpinannya Obama menyatakan bahwa 30 juta warga Amerika telah menikmati jaminan layanan kesehatan di pusat-pusat kesehatan di Amerika. Bahkan satu waktu rencana kunjungan Obama ke Indonesia di batalkan karena Obama ingin mengawal Rancangan Undang-Undang tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa parlemen dan senat Amerika didominasi oleh partai Republik, partai oposisi Obama.

Begitu juga dengan terpilihnya Donald Trump dari Partai Republik yang memenangkan pemilihan melawan Hillary Clinton dari Partai Demokrat. Amerika sedang mengalami gejolak ekonomi ditandai dengan semakin banyaknya pengangguran. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya lapangan pekerjaan yang disebabkan perusahaan-perusahaan besar seperti Apple telah membangun pabrik di luar Amerika dengan tujuan mengurangi biaya produksi yang berpengaruh terhadap nilai jual produk Amerika. Janji kampanye Trump yang berlatar belakang pengusaha, begitu terpilih segera mengambil kebijakan dengan memerintahkan perusahaan-perusahaan Amerika kembali ke membangun pabriknya di Amerika agar lapangan pekerjaan dapat mengatasi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Begitu juga kebijakan kesehatan semesta yang diperjuangkan selama Obama berkuasa dibatalkan karena dianggap membebani keuangan negara.

Rakyat Amerika dengan cerdas menentukan pilihannya atas dasar janji politik yang ditawarkan sebagai sebuah produk jualan untuk menarik simpati publik. Pencitraan yang dibangun oleh kandidat Presiden Amerika bukan pada performancenya secara fisik, apakah tampangnya, kesantunannya, atau bahkan menghapus catatan hitam masa lalunya. Terpilihnya Donald Trump sekali lagi membuktikan bahwa meskipun mendapat penolakan dari beberapa kelompok rakyat Amerika, menunjukkan bahwa rakyat Amerika lebih rasional di dalam menentukan pilihan.



Pesta Demokrasi Di Indonesia

Jika melihat pesta demokrasi di Indonesia, apakah pemilihan presiden ataupun pemilihan kepala daerah, jauh panggang daripada api jika membandingkan kecerdasan pemilih Amerika dengan kecerdasan pemilih di Indonesia. Pemilih di Amerika lebih rasional, sedangkan pemilih di Indonesia cenderung emosional. Kecenderungan dalam menentukan pilihan dalam sebuah kontestasi pemilihan Presiden ataupun Kepala Daerah baik Gubernur ataupun Bupati/Walikota lebih didasarkan kepada kedekatan dan kesukaan atas kandidat yang ikut dalam kontestasi. Berbagai survey yang dilakukan oleh para kandidat calon kepala daerah berupaya untuk menggali seberapa besar tingkat popularitas, dan juga elektabilitas mereka. Sehingga intervensi yang dilakukan oleh tim konsultan adalah dengan berupaya membangun pencitraan secara fisik dan non fisik agar menimbulkan kesan pada para pemilih dan menjadi lebih dikenal. Ada kandidat yang mencoba membangun simpati dengan mendesain karakternya menjadi orang yang teraniaya melalui pencitraan media, baik cetak ataupun elektronik, bahkan melalui media sosial. Ada yang tampil dengan sikap simpatiknya turun blusukan ke pusat-pusat perbelanjaan, sekedar bertanya harga, atau sambil berselfie berupaya membangun citra lebih dekat dengan masyarakat. Dan juga ada yang tampil lebih religius untuk menunjukkan dirinya lebih dapat dipercaya dan bertanggungjawab. Semua yang mereka lakukan adalah merupakan bagian dalam membangun sebuah political branding atau lebih familiar disebut pencitraan.

Tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat didaerah ataupun di Indonesia secara umum memang berbeda dengan di Amerika. Janji-janji politik yang disampaikan dalam setiap kampanye seolah tidak begitu dihiraukan. Masyarakat menganggap janji-janji tersebut seperti hanya sebuah pepesan kosong saja. Mereka dalam memutuskan untuk memilih kandidat pasangan kepala daerah lebih pada faktor kedekatan emosinal, balas budi, ataupun punya latar belakang kesukuan dan agama yang sama. Yang lebih mengkhawatirkan adalah pilihan itu didasarkan pada nilai tukar yang diberikan oleh kandidat dalam bentuk transaksi uang dengan suara pemilih.

Jika kita melihat pada teori hierarkhi kebutuhan Maslow yang menempatkan kebutuhan itu berjenjang mulai dari kebutuhan dasar makan dan minum, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan dihargai, dan yang paling tinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri. Maka piramida hierarki kebutuhan Maslow itu masih menempatkan jumlah terbesar masyarakat pemilih di Indonesia masih berkutat untuk memenuhi kebutuhan paling dasar yaitu makan dan minum. Pemenuhan kebutuhan makan dan minum merupakan kebutuhan diseputar urusan perut, maka penyelesaiannya adalah siapa yang dapat menukar antara kebutuhan pemilih dan kebutuhan yang minta dipilih, maka terjadilah sebuah transaksional. Sedangkan dipuncak piramida jumlahnya lebih sedikit masyarakat dengan level kebutuhan aktualisasi diri, mereka yang memberanikan diri untuk tampil sebagai kandidat dengan mengharapkan pemilih yang rasional pada level piramida Maslow. Mereka yang masih membutuhkan rasa aman, ataupun mereka yang butuh berkumpul, dan juga mereka yang butuh dihargai, pada level inilah yang bisa diharapkan berpikir menjadi pemilih cerdas dan rasional. Sayang jumlah masyarakat pemilih pada level ini lebih sedikit dibandingkan mereka yang berkutat pada urusan perut.

Kita tidak akan melihat para kandidat memasang billboard, spanduk, poster, ataupun iklan di media cetak dan elektronik yang menuliskan Visi dan Misi serta program-program yang akan diperjuangkannya jika terpilih. Mereka lebih suka memasang wajah mereka dengan rekayasa aplikasi editing photo agar terlihat lebih menarik dan simpatik. Kemudian menambahkan tagline berupa moto dan simbol-simbol yang menarik perhatian sehingga mudah diingat dan menjadi branding bagi pasangan kandidat pilkada. Hiruk pikuk pasca pilkada tidak akan kita dengar tuntutan dari masyarakat pemilih kandidat yang memenangkan kontestasi pilkada agar pasangan kandidat terpilih menunaikan janji politiknya. Yang akan kita dengar adalah tuntutan-tuntutan yang bersifat emosional dan lebih bersifat pribadi, dengan kata lain kepentingan sekelompok orang yang terlibat dalam mensukseskan kandidat menjadi bagian dari politik balas budi mengalahkan kepentingan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Deputi BKKBN Pusat Kunjungi Pojok Kependudukan STISIPOL Raja Haji

Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, Bapak Dr. dr. M. Yani, M.Kes.,PKK. berkunjung ke Pojok Kependudukan STISIPOL...