OPEN BIDDING DAN
FILOSOFI ORANG MELAYU
Oleh :
Endri Sanopaka, MPM
Ketua STISIPOL Raja
Haji
Pembahasan
pelantikan pejabat eselon di lingkungan Pemerintah Daerah se-Provinsi Kepulauan
Riau cukup menarik perhatian masyarakat. Pelantikan pejabat menjadi sesuatu
yang dinanti oleh masyarakat disebabkan momentum pelantikan kali ini tidak
seperti biasanya pasca pemilihan kepala daerah. Karena ada ketentuan UU Nomor 1 Tahun 2015, sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 8 Tahun 2015, tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Wali Kota bahwa kepala daerah dilarang melantik
pejabat dalam jangka waktu 6 bulan setelah dilantik. Ditambah lagi mekanisme
penentuan pejabat yang mengacu pada UU No 15 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)
dengan cara assessment center dan open bidding tentu pelantikan menjadi
peristiwa yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat.
Open bidding menjadi perhatian publik saat ini,
setelah Pemerintah DKI Jakarta untuk pertama kali melaksanakannya dengan
istilah lelang jabatan. Suatu mekanisme pencarian calon pimpinan perangkat
daerah melalui serangkaian proses terbuka untuk mendapatkan orang-orang yang memiliki
kompetensi pada jabatan dan bidang tugas yang sudah ditentukan. Disatu sisi open bidding menjadi harapan baru bagi
mereka yang punya kompetensi dan profesionalitas untuk melaksanakan pekerjaan
melayani publik, tapi tidak pernah mendapatkan kesempatan memperoleh jabatan
karena tidak punya akses dengan kekuasaan. Disisi lain open bidding juga akan mengeliminasi orang-orang yang sudah cukup
lama berkiprah didalam birokrasi dan memiliki pengalaman di lapangan tapi
dianggap tidak kompeten dan tidak profesional secara intelektual dan akademik.
Selain
persoalan kesempatan untuk memperoleh jabatan melalui open bidding, persoalan lainnya adalah bahwa open bidding juga perlu menyesuaikan dengan nilai-nilai budaya lokal
lingkungan pemerintah daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa organsiasi
pemerintah daerah saat ini ingin bergerak menyesuaikan dengan perkembangan
pengelolaan organisasi secara modern. Open
bidding bukanlah barang baru didalam seleksi memperoleh orang-orang bertalenta
pemimpin di organisasi sektor private.
Bahkan di organisasi Badan Usaha Miliki Pemerintah telah melaksanakan mekanisme
ini untuk memperoleh para pemimpin potensial bagi memajukan organisasi mereka.
Tak heran jika saat ini disektor private
atau BUMN banyak dijumpai pemimpin-pemimpin muda yang telah menduduki
posisi-posisi puncak baik sebagai CEO ataupun pada level menengah. Semangat
birokrasi sektor publik yang ingin mengadopsi mekanisme seleksi secara
professional untuk memperoleh pejabat-pejabat publik yang terbaik melalui open bididing tentu bukan merupakan
perkara mudah.
Setelah
sekianlama organisasi pemerintah daerah terjerumus didalam sebuah mekanisme
politik dalam penentuan para pejabat publiknya, saat ini mereka dihadapkan pada
tuntutan UU untuk melakukan rekruitmen pejabatnya secara terbuka. Banyak orang
yang menyangsikan komitmen penguasa birokrasi untuk melaksanakan open bidding secara profesional,
meskipun tim yang ditunjuk sudah mengakomodir pihak-pihak profesional baik
internal maupun eksternal. Berbeda seperti masa lalu yang ditentukan oleh tim
Baperjakat yang sering diplesetkan menjadi badan pertimbangan jarak dan
kedekatan. Pemilihan kepala daerah secara langsung membawa konsekuensi bahwa
sang penguasa politik akan membawa gerbong politiknya masuk kedalam jajaran
birokrasi untuk membantunya.
Hal
tersebut tidak dapat serta merta dituding sebagai praktek balas budi semata,
namun dapat kita diskusikan secara nilai-nilai filosofis lokalistik bahwa
jabatan itu adalah kepercayaan. Bagaimana mungkin sang penguasa birokrasi
begitu saja melepaskan peluang untuk mendudukkan orang-orang kepercayaannya
didalam jajaran pejabat publik di birokrasinya. Karena bagi seorang pemimpin
politik yang diperlukan adalah orang kepercayaan, bukan sebatas kompetensi dan
profesional saja. Banyak orang yang punya kompetensi dan profesionalitas
menduduki jabatan, tapi tidak memperoleh kepercayaan dari penguasa birokrasi
untuk menjaga stabilitas politik sang penguasa.
Belum
lagi jika melihat karakter masyarakat yang terpengaruh oleh nilai-nilai
kemelayuan yang sangat bertentangan dengan semangat open bidding yang membuat peluang bagi yang punya ambisi untuk
memperoleh karir yang lebih baik. Banyak peribahasa dan tunjuk ajar melayu yang
mempengaruhi karakter orang melayu jika dihadapkan pada mekanisme sistem open bidding. Mereka menganggap bahwa
jabatan itu adalah amanah dan kepercayaan. Bicara amanah dan kepercayaan tentu
melalui sebuah proses penunjukkan oleh sang penguasa birokrasi. Sementara
mekanisme open bidding merupakan sebuah proses melamar jabatan yang ditawarkan.
Sebagian berpandangan bahwa melamar jabatan memperlihatkan sosok karakter yang
ambisius untuk memperoleh jabatan. Dalam perjalanan sejarah zaman kesultanan
melayu, sultan memberikan jabatan sebagai amanah untuk jabatan-jabatan didalam
istana seperti datuk bendahara, temenggung, laksmana, hulubalang, batin dan
lainnya. Tidak pernah seorang sultan melelangkan jabatan tersebut kepada
khalayak umum melalui mekanisme kompetisi ataupun kontestasi.
Berbeda
dengan mekanisme open bidding yang memang berasal dari budaya barat. Kita
sering menyaksikan film-film masa Yunani ataupun romawi tentang para gladiator
yang saling beradu didalam arena untuk menunjukkan siapa yang paling kuat
dihadapan raja. Yang keluar sebagai pemenang dalam kompetisi gladiator akan
dianggap mampu melindungi sang raja. Orang melayu selalu berpegang untuk rendah
diri sebagaimana peribahasa mereka tidak mau dianggap “hidung tak mancung pipi
tersorong-sorong”. Orang melayu bukan tidak berkeinginan meraih jabatan
sebagai bentuk prestasi atas kemampuannya, tapi mereka beranggapan bahwa
jabatan itu adalah amanah dan kepercayaan bukan merupakan hak. Jadi biarlah
menunggu ditunjuk, karena penunjukkan adalah bukti kepercayaan dan jauh lebih
terhormat dibandingkan dengan kompetisi dan kontestasi.
Sebaiknya
kita masyarakat Kepulauan Riau memberikan kesempatan kepada masing-masing Kepala
Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota melalui koordinasi sekretaris daerah
untuk bekerja bersama.para pejabat yang sudah dilantiknya. Pada intinya jabatan
itu adalah amanah dan kepercayaan. Harus kita sadari bahwa pimpinan tertinggi
birokrasi kita saat ini adalah pejabat politik, sehingga yang paling penting
dalam sebuah tim birokrasi adalah kepercayaan. Barangkali kita banyak.memiliki
pejabat-pejabat yang berkualitas dan berkompeten, tapi belum tentu Kepala
Daerah bisa begitu saja percaya, karena tugas-tugas yang diberikan oleh Kepala
Daerah harus dilandasi dengan rasa saling percaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar