Sabtu, 22 April 2017


OPEN BIDDING DAN FILOSOFI ORANG MELAYU

Oleh :

Endri Sanopaka, MPM

Ketua STISIPOL Raja Haji


Pembahasan pelantikan pejabat eselon di lingkungan Pemerintah Daerah se-Provinsi Kepulauan Riau cukup menarik perhatian masyarakat. Pelantikan pejabat menjadi sesuatu yang dinanti oleh masyarakat disebabkan momentum pelantikan kali ini tidak seperti biasanya pasca pemilihan kepala daerah. Karena ada ketentuan UU Nomor 1 Tahun 2015, sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 8 Tahun 2015, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota bahwa kepala daerah dilarang melantik pejabat dalam jangka waktu 6 bulan setelah dilantik. Ditambah lagi mekanisme penentuan pejabat yang mengacu pada UU No 15 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan cara assessment center dan open bidding tentu pelantikan menjadi peristiwa yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat.

Open bidding menjadi perhatian publik saat ini, setelah Pemerintah DKI Jakarta untuk pertama kali melaksanakannya dengan istilah lelang jabatan. Suatu mekanisme pencarian calon pimpinan perangkat daerah melalui serangkaian proses terbuka untuk mendapatkan orang-orang yang memiliki kompetensi pada jabatan dan bidang tugas yang sudah ditentukan. Disatu sisi open bidding menjadi harapan baru bagi mereka yang punya kompetensi dan profesionalitas untuk melaksanakan pekerjaan melayani publik, tapi tidak pernah mendapatkan kesempatan memperoleh jabatan karena tidak punya akses dengan kekuasaan. Disisi lain open bidding juga akan mengeliminasi orang-orang yang sudah cukup lama berkiprah didalam birokrasi dan memiliki pengalaman di lapangan tapi dianggap tidak kompeten dan tidak profesional secara intelektual dan akademik.

Selain persoalan kesempatan untuk memperoleh jabatan melalui open bidding, persoalan lainnya adalah bahwa open bidding juga perlu menyesuaikan dengan nilai-nilai budaya lokal lingkungan pemerintah daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa organsiasi pemerintah daerah saat ini ingin bergerak menyesuaikan dengan perkembangan pengelolaan organisasi secara modern. Open bidding bukanlah barang baru didalam seleksi memperoleh orang-orang bertalenta pemimpin di organisasi sektor private. Bahkan di organisasi Badan Usaha Miliki Pemerintah telah melaksanakan mekanisme ini untuk memperoleh para pemimpin potensial bagi memajukan organisasi mereka. Tak heran jika saat ini disektor private atau BUMN banyak dijumpai pemimpin-pemimpin muda yang telah menduduki posisi-posisi puncak baik sebagai CEO ataupun pada level menengah. Semangat birokrasi sektor publik yang ingin mengadopsi mekanisme seleksi secara professional untuk memperoleh pejabat-pejabat publik yang terbaik melalui open bididing tentu bukan merupakan perkara mudah.

Setelah sekianlama organisasi pemerintah daerah terjerumus didalam sebuah mekanisme politik dalam penentuan para pejabat publiknya, saat ini mereka dihadapkan pada tuntutan UU untuk melakukan rekruitmen pejabatnya secara terbuka. Banyak orang yang menyangsikan komitmen penguasa birokrasi untuk melaksanakan open bidding secara profesional, meskipun tim yang ditunjuk sudah mengakomodir pihak-pihak profesional baik internal maupun eksternal. Berbeda seperti masa lalu yang ditentukan oleh tim Baperjakat yang sering diplesetkan menjadi badan pertimbangan jarak dan kedekatan. Pemilihan kepala daerah secara langsung membawa konsekuensi bahwa sang penguasa politik akan membawa gerbong politiknya masuk kedalam jajaran birokrasi untuk membantunya.

Hal tersebut tidak dapat serta merta dituding sebagai praktek balas budi semata, namun dapat kita diskusikan secara nilai-nilai filosofis lokalistik bahwa jabatan itu adalah kepercayaan. Bagaimana mungkin sang penguasa birokrasi begitu saja melepaskan peluang untuk mendudukkan orang-orang kepercayaannya didalam jajaran pejabat publik di birokrasinya. Karena bagi seorang pemimpin politik yang diperlukan adalah orang kepercayaan, bukan sebatas kompetensi dan profesional saja. Banyak orang yang punya kompetensi dan profesionalitas menduduki jabatan, tapi tidak memperoleh kepercayaan dari penguasa birokrasi untuk menjaga stabilitas politik sang penguasa.  

Belum lagi jika melihat karakter masyarakat yang terpengaruh oleh nilai-nilai kemelayuan yang sangat bertentangan dengan semangat open bidding yang membuat peluang bagi yang punya ambisi untuk memperoleh karir yang lebih baik. Banyak peribahasa dan tunjuk ajar melayu yang mempengaruhi karakter orang melayu jika dihadapkan pada mekanisme sistem open bidding. Mereka menganggap bahwa jabatan itu adalah amanah dan kepercayaan. Bicara amanah dan kepercayaan tentu melalui sebuah proses penunjukkan oleh sang penguasa birokrasi. Sementara mekanisme open bidding merupakan sebuah proses melamar jabatan yang ditawarkan. Sebagian berpandangan bahwa melamar jabatan memperlihatkan sosok karakter yang ambisius untuk memperoleh jabatan. Dalam perjalanan sejarah zaman kesultanan melayu, sultan memberikan jabatan sebagai amanah untuk jabatan-jabatan didalam istana seperti datuk bendahara, temenggung, laksmana, hulubalang, batin dan lainnya. Tidak pernah seorang sultan melelangkan jabatan tersebut kepada khalayak umum melalui mekanisme kompetisi ataupun kontestasi.

Berbeda dengan mekanisme open bidding yang memang berasal dari budaya barat. Kita sering menyaksikan film-film masa Yunani ataupun romawi tentang para gladiator yang saling beradu didalam arena untuk menunjukkan siapa yang paling kuat dihadapan raja. Yang keluar sebagai pemenang dalam kompetisi gladiator akan dianggap mampu melindungi sang raja. Orang melayu selalu berpegang untuk rendah diri sebagaimana peribahasa mereka tidak mau dianggap “hidung tak mancung pipi tersorong-sorong”. Orang melayu bukan tidak berkeinginan meraih jabatan sebagai bentuk prestasi atas kemampuannya, tapi mereka beranggapan bahwa jabatan itu adalah amanah dan kepercayaan bukan merupakan hak. Jadi biarlah menunggu ditunjuk, karena penunjukkan adalah bukti kepercayaan dan jauh lebih terhormat dibandingkan dengan kompetisi dan kontestasi.

Sebaiknya kita masyarakat Kepulauan Riau memberikan kesempatan kepada masing-masing Kepala Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota melalui koordinasi sekretaris daerah untuk bekerja bersama.para pejabat yang sudah dilantiknya. Pada intinya jabatan itu adalah amanah dan kepercayaan. Harus kita sadari bahwa pimpinan tertinggi birokrasi kita saat ini adalah pejabat politik, sehingga yang paling penting dalam sebuah tim birokrasi adalah kepercayaan. Barangkali kita banyak.memiliki pejabat-pejabat yang berkualitas dan berkompeten, tapi belum tentu Kepala Daerah bisa begitu saja percaya, karena tugas-tugas yang diberikan oleh Kepala Daerah harus dilandasi dengan rasa saling percaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Deputi BKKBN Pusat Kunjungi Pojok Kependudukan STISIPOL Raja Haji

Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, Bapak Dr. dr. M. Yani, M.Kes.,PKK. berkunjung ke Pojok Kependudukan STISIPOL...