SARJANA
(BUKAN) CALON PENGANGGURAN
Oleh
:
ENDRI
SANOPAKA, S.Sos., MPM
Ketua
Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji
Para lulusan perguruan
tinggi dengan gelar diploma ataupun kesarjanaan seringkali dianggap memberikan
kontribusi pada jumlah angka pengangguran. Berdasarkan data dari “Buku
Statistik Pendidikan Tinggi” Tahun Akademik 2014/2015, jumlah lulusan perguruan
tinggi di Indonesia adalah 178.535 diploma dan 635,970 sarjana. Sedangkan dari
buku yang sama dapat dilihat bahwa lulusan di Kepulauan Riau 1.705 diploma dan 3.167 sarjana. Maka banyak
yang mengasumsikan lulusan diploma dan sarjana berkontribusi menambah angka
pengangguran terbuka di Provinsi Kepri, meskipun sebagian dari mereka banyak
yang bekerja sambil kuliah. Berdasarkan
data dari Buku Kepri Dalam Angka Tahun 2016 yang dikeluarkan oleh BPS,
pengangguran terbuka berjumlah 55.318 orang, dan tentunya tidak semuanya adalah
lulusan sarjana.
Jika orientasi
meningkatkan pendidikan menuju jenjang S1 adalah mendapatkan pekerjaan yang
layak dengan penghasilan yang lebih baik, tentu orientasi tersebut salah
alamat. Apalagi jika keinginan mendapatkan gelar sarjana adalah karena ingin
bekerja didalam sektor pemerintahan menjadi Aparatur Sipil Negara, sebuah
lapangan kerja yang jumlahnya terbatas untuk dapat menampung para lulusan
perguruan tinggi. Memang karakter masyarakat Indonesia dan Malaysia menurut hasil
kajian Hofsteed (2010) dalam bukunya berjudul “Culture And Organization” pada
dimensi “Uncertainty Avoidance” atau
dimensi menghindari sesuatu yang tidak pasti, menunjukkan bahwa harapan
memperoleh pekerjaan di lingkungan pemerintahan adalah salah satu karakteristik
masyarakat melayu yang menghindari sesuatu yang tidak pasti. Menjadi ASN
dianggap memiliki jaminan penghasilan dan kepastian masa depan.
Melihat pada Peraturan
Presiden Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia (KKNI) yang kemudian dijabarkan didalam beberapa peraturan
di lingkungan pendidikan tinggi telahpun disusun desain KKNI untuk jenjang
pendidikan S1 adalah pada level 6 yang secara ringkas menuntut para lulusan
sarjana mampu mengaplikasikan bidang
keahliannya dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni pada
bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi
yang dihadapi. Kemudian menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu
secara umum dan konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut
secara mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural.
Dan yang terakhir tuntutan pada level 6 adalah mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis
informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai
alternatif solusi secara mandiri dan kelompok. Bertanggung jawab pada pekerjaan
sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja organisasi.
Dengan demikian dapat kita lihat bahwa tuntutan dari seorang
Sarjana itu bukanlah harus menjadi pekerja, melainkan kemandirian dari seorang
Sarjana untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan didalam memecahkan persoalan
yang ada di sekitar secara bertanggungjawab dengan keilmuannya. Oleh karena itu
seorang sarjana harus dapat membuka lapangan pekerjaan dengan pengetahuan yang
dimiliki sesuai dengan bidang-bidang pengetahuan. Dengan kemampuan membuka
lapangan pekerjaan tersebut lulusan sarjana bukan lagi menjadi beban
bertambahnya jumlah pengangguran tapi dapat membuka lapangan pekerjaan, dengan
asumsi bahwa setiap mereka membutuhkan tenaga kerja untuk membantunya dalam
berusaha maka setiap tahunnya akan terbuka lapangan pekerjaan baru.
Saat ini tidak ada perguruan tinggi, khususnya penyelenggara
pendidikan tinggi tingkat sarjana di Indonesia yang mendesain kurikulumnya
untuk menghasilkan lulusan yang siap dipakai bekerja. Melainkan setiap
perguruan tinggi yang menghasilkan lulusan S1, sudah sejak dari awal dalam
merancang kurikulumnya menjadikan lulusan sarjana yang siap untuk membuka
lapangan pekerjaan. Mulai dari merancang mata kuliah kewirausahaan, kemampuan
komputer terapan, penguasaan bahasa inggris, kemampuan “public speaking”, dan
mewajibkan mengikuti Unit Kegiatan Kemahasiswaan, bahkan Kuliah Kerja Nyata dan
Kuliah Kerja Luar Negeri adalah antara lain upaya perguruan tinggi untuk
memandirikan para lulusannya.
Peran Pemerintah
Masyarakat luas, ataupun pemerintah tidak dapat begitu saja
menuduh ataupun menganggap lulusan perguruan tinggi berpotensi menjadi beban
pengangguran. Dan tudingan tersebut sering kali dialamatkan kepada perguruan
tinggi yang mencetak sarjana. Pemerintah tidak harus menyiapkan program membuka
lapangan pekerjaan bagi lulusan sarjana, melainkan harus ikut berperan
merangsang para sarjana membuka lapangan pekerjaan baru. Harapan tersebut akan
dapat dicapai tidak terlepas dari peran pemerintah. Meskipun secara regulasi
telah disusun oleh pemerintah, tapi fasilitasi pemerintah untuk mendukung para
lulusan sarjana membuka lapangan pekerjaan juga harus tetap dilaksanakan. Saat
ini beberapa kementerian seperti Kementerian Pemuda dan Olahraga telah membuka
peluang bagi munculnya para pengusaha-pengusaha muda melalui bantuan
permodalan. Hanya saja mentalitas entrepreneur masih harus terus didorong dan menjadi
tanggungjawab perguruan tinggi sejak masih dibangku kuliah sudah mulai menanamkan
semangat entrepreneur tapi tidak materialistis.
Fasilitasi pemerintah sebenarnya tidak harus selalu dengan
bantuan secara materi, tapi dapat berupa kebijakan dan kemudahan-kemudahan
serta prioritas. Misalnya para lulusan sarjana ini diberikan laluan untuk dapat
ikut serta dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah dimulai dari merintis
pengadaan barang dan jasa secara penunjukan langsung dengan Kriteria perusahaan
Kecil. Kemudian dapat berlanjut ke pengadaan yang nilai kontraknya meningkat
dapat disesuaikan dengan pengalaman dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Selama ini pengadaan barang dan jasa pemerintah seringkali hanya dikuasai oleh
segelintir pengusaha-pengusaha besar ataupun yang sudah sangat senior. Bahkan
pengadaan barang dan jasa pemerintah hanya menjadi monopoli tim-tim sukses para
penguasa birokrasi.
Jika para sarjana ataupun mahasiswa di semester akhir sudah
difasilitasi untuk menjadi pengusaha muda melalui kebijakan pemerintah mempermudah
perizinan, legalitas dan badan usaha, dan pembekalan mekanisme proses berusaha,
maka dapat dipastikan mereka tidak akan jadi pengangguran. Sebab status mereka
di dalam identitas Kartu Tanda Penduduk akan berubah menjadi “Wiraswasta” ,
“Pengusaha”, “Pedagang”, “Konsultan”, ataupun “Swasta”. Dan tentunya para
sarjana tersebut harus percaya diri untuk menyebutkan dirinya adalah seorang
pengusaha, bukan pencari kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar